Wednesday, April 11, 2007

Kereta Kencana*

Kpd M. F aktorku

Usai kita bersanding dalam dialog kereta kencana
Kuingin tuhan kirimkannya untuk kita
Sepuluh kuda, satu warna

Maka untuk lelaki cakrawala
Hatiku akan tetap sama
Maka untuk seorang Rendra
Tak kan pernah kulupa

Pada kursi-kursi yang disediakan Eggene Ionesco
Kita duduk
Kau di kursi goyangnya
Dan aku di kursi piano

Pada dua batang lilin dan lampu hijau
Kita mendengus meratapi keuzuran umur kita
Membicarakan sepi, hampa, lelah
Dan anak-anak kehidupan
Yang terbengkalai

Kita manusia berumur dua abad
Yang membicarakan cinta dan sejarah
Dari sepanjang kota-kota yang pernah kita jelajah
Perancis sampai jakarta

Usai kita sandingkan dialog kereta kencana
Kuharap tuhan kirimkannya untuk kita
Sepuluh kuda, satu warna

Maka dari baris matamu kutahu
Engkaulah dunia gilang gemilang itu
Tempat resah hatiku runtuh
Maka di mataku pun nyata
Engkaulah panggung sesungguhnya
Tempat segala peran merajalela

Gading kelabu, 6 April 2007

* Dari judul naskah drama Kereta Kencana (Les Chaises) Eggene Ianesco terjemahan W. S. Rendra.

Masih Ada Puntung Rokokmu

Masih ada puntung rokokmu di kamarku
Yang kau hisap tempo hari di ranjangku
Sambil bicarakan malam,
Panggung, dan embun
Ada teh panas yang masih mengepul
Dan rindang mata saat kita harus meringkus kelam
Enggan kita akhiri malam
Enggan kita pingsan di atas ranjang

Masih ada sikat gigimu di kamarku
Sengaja kau tinggalkan
Sebab suatu saat ku tahu kau kan kembali lagi
Meradang malam
Menggurat kenangan dalam keningkening lebam

Kita memang tidak seharusnya diperjauhkan
Perbedaan
Sebab ketika kita bertatapan
Kita melihat diri kita sendiri

Bercermin dan bercermin
Lagi dan lagi
Betapa mata menghantarkan hangat
Seperti teh itu

Masih ada baumu di ranjangku
Hangat dan menyengat
Baubau badan yang kusuka: ketiak dan tengkukmu
Tubuhmu sehangat teh itu
Bibirmu enduskan perjalanan gulita
Seperti angin, kau menjadi bunga tidurku
Dalam episode malam selanjutnya

Kau masih perlu rokok
Sebungkus dua bungkus
Bukan tujuh batang dalam asbak itu
Kau masih perlu odol
Kuekue, teh celup, dan nutrisari
Semua kusimpan dalam almari
Rapi seperti caraku melipat baju

Begitu banyak yang harus jadi
Kenyataan
Saat kau kembali nanti

Gading rindu, 11 Januari 2007

Lelaki Cakrawala

Fdl

aku mengumpulkan serpihan katakata
dari matamu
mengucapkan mantera cinta agar suatu saat
kau menciumku
berharap kita bisa berjalan iringi
waktu

duhai lelaki cakrawala
kau hembuskan luasmu melebihi
padang sabana
walau di matamu kutemukan
lubang hitam menganga

tahulah aku bahwa telah lama
jatuh cinta

menyembah cinta seperti berhala
mengenang perjalanan panjangku
menyusuri samudra dan bebatuan
memanjat doadoa keramat
menyalip mimpimimpi dalam puisi
menelan cemburu dan lagilagi
luka

apakah kau tahu daundaun telah
musnah
dan rindu pada malammalam saat
kita berdua?

ah, betapa lelahnya aku berlari
sudah berapa benuakah telah
kuseberangi?

Gading Beku, 16 April 2006

Senja di Jakarta

: M. F

aku telah mencerita burungburung yang bertransmigrasi, panggungpanggung yang retak karena patahan dan musimmusim yang harmoni berganti seperti tangga nada
tak beraturan. semuanya tampak jingga seperti senja di Jakarta

lalu mengapa tiada pernah terpikirkan oleh kita mengapa burung berkicau? mengapa tidak kita tanyakan pada mereka tentang topengtopeng yang meraka kenakan? dan mengapa tak terlintas pada benak kita tentang bungabunga dan kupu yang kadung layu dan menjadi kepompong luculucu?

lalu kau jawab:
sayangku, aku tahu kau gadis yang tumbuh tanpa keperawanan. tapi malam selalu membawamu pada telaga di mana di atasnya bulan sebesar lampion cina bergelayut manja seperti bandul waktu. dan kau hanyut pada sebuah sampan tak berdayung. kau terjaga dari mimpimimpi tidak sempurna, dari tatapan batara kala

dan kau jawab:
sayangku, kopikanlah mimpimu dan bawa padaku. biar kupelajari lembar per lembar, halaman per halaman. kata per kata bahkan tanda titik dan komanya. biar kutata asa dan nestapamu yang membuatmu tua dan keriput. biar kueja ia, kuhitung setiap kesalahan dan kebenarannya seperti dulu aku menghitung tiap helai rambutmu yang rontok satu per satu. agar lunas segala dahagamu dan utang darah keperawanan yang tak terbayar ampunan tuhan

kau pun menjawab:
sayangku, senja di Jakarta adalah buram sebab warnanya kusut dan perjalanannya tak terlabuhkan. lihatlah lenteralentera kota agung itu! pada pelabuhan dan sekitar
asap, kabut, gas, limbah, udara cemar dan laut kehilangan biru. apakah kau pernah tanyakan; ke mana perginya biru? pada burungburung yang bertransmigrasi? pada panggungpanggung yang retak? pada musimmusim harmoni tak beraturan?

lalu kau pun menghiburku:
maka tidurlah di atas pahaku, atau perutku atau dadaku. labuhkanlah cemar resah yang mengukir ketuaanmu. tak kupaksakan jiwamu mendua menjadi seperti apa yang kau pikirkan meski kau berada dalam pelukku. aku tahu. ya, aku tahu. seperti halnya gadis perawan, kau pun memikirkan; apakah ada seorang pemuda sejati tengah memikirkanmu?

dan di manakah senja ketika laut tak lagi biru saat biasnya terpantul retina mata? ya, aku tahu. aku sudah tahu. tak ada senja di Jakarta bagi gadis tidak perawan. tak ada senja di manamana

Gading menjelang fajar, 30 Juli 2006

Menulis Matahari

- Ika. F -

aku sebenarnya ingin menulis matahari. membuat kisah padang dan ladang, kering basah, kosong, dan gembur. menceritakan embun daun angin, semua pada ilalang yang bergoyang. menganyam sejarah silam dari kulitkulit bambu yang nyaris terlupakan. juga tentang seorang perempuan yang kencing di semak samping pematang

aku sebenarnya ingin menulis matahari. memahat kata pada sebatang nisan sebelum melepuh menjelma dupa, wangi kemboja kencana mengendap menjadi kabut yang beberapa jam lalu menguap bersama embun. melambai pada cendawan dan cendana yang dibuat hutan tropis itu

menulis matahari adalah mengenang pinggang rupawan sesempurna lingkar hidup cemara. ramping dan kokoh sebab di dalamnya kelak bersemayam tunas pilihan, angkaangka kehidupan

menulis matahari adalah membayangkan kaki jenjang tungkai padi ranum yang merunduk malumalu sedang menelusuri setapak kehidupan yang berlumur lumpur. pada dadanya seputih pualam seumpama gading aku menemu kasih pada lingkar kehidupan yang menggantung ranum serupa anggur

ah! aku sebenarnya ingin menulis matahari. memperpanjang nyawa tuk bisa kembali mengintip perempuan yang kencing di semak samping pematang itu

Perjalanan pulang, Malang 10 Maret 2006

Menyala Api

I
menyala api,
aku sudah tak dikenal lagi
ada orangorang tak bernama yang cinta
tak bisa melupakanku meski kehidupan membawa mereka
tuk jadikanku debu
aku menulis cinta, menulis kegilaan, menghanyutkan diriku
dalamdalam, hingga aku lupa
tentang; siapakah aku?
aku mencatat jeramijerami yang menyatu dengan tanah
melupakan bagaimana rasanya jatuh cinta
segalanya telah menjadi purba
lukisan malam berhambur bintang dan purnama
bayangan kekasihkekasih tak terlupa
bingkaibingkai kenangan sang ayah
seperti tak ada yang tersisa diberangus masa


II
menyala api,
aku sudah tak mengenal aku lagi
mengingat kapan terakhir kali aku bahagia
mengenang kapan terakhir aku putus cinta
aku menulis cinta dan kegilaan, menulis aku yang hilang
aku tidur menghadap matahari terbenam
menemukan serpihserpih sperma

membuntal dalam gundukan mimpiku yang mengendap
dalam pikirku
menganak sungai dalam perjalanan ke rahimku
membuahi harapan alam bawah sadar
aku mengandung masa lalu
mengandung aku yang dulu
dan menetaskan anakanak imaji
apakah yang mereka pikirkan tentang dosa?

tuhan ada tapi entah di mana

Gading menyala, Juli 2006

Bulan Gendut

: Serunting

ke mana pergimu, ibu? lihat! kelaminmu bercecer di mana-mana hingga aku harus memungutinya satusatu sepanjang jalan

oh, bulan gendut
mengapa kau telanjang? apa kau tak malu anumu ke manamana? jadi tontonan banyak orang

astaga… itu dia si pemilik batang bergetah karet, ibu. usai ia buat aku jadi ban plastik lalu melar, ia jamah hutanku habisi susuku. seperti mereguk candu dari cawan biru dewadewa dari ragam kastakasta. ia gelar matahari dan jatuhkan dosadosa hingga kan sulit lagi bumi mengandung sebab hujan menjadi mendung

oh, bulan gendut
mengapa kau tiada bercawat? mengenang kangen yang kian berkarat?

lalu kulihat waktu pergi meninggalkan bayang. ke mana lagi aku menjelma? malam sirna melintasi wajah. mereka patah terinjak langkah. bulan gendut lebur usai lembur. ibu hilang di balik sesemak. lalu terdengar tawa riang gemintang melarungkan perjalanan pulang memperhatikanku telanjang sedang memerawani malam

Gading gendut, 22 Agustus 2005